Para Pembunuh Sedang Dalam Perjalanan

Hamdi berterima kasih kepada Amir untuk mengijinkannya masuk ke rumahnya, kemudian duduk setelah dipersilahkan, dan mulai menjelaskan kunjungannya: “Aku tahu bahwa kalian adalah pengikut Isa. Aku adalah Alawis/Syiah.” Hamdi berhenti sejenak, mengira-ira reaksi Amir. Dia dapat mengatakan bahwa Amir tidak terkejut. “Ayahku adalah seorang Syeh dan salah seorang pemimpin utama. Dia mendidikku sangat baik dengan iman Syiah. Aku tahu banyak rahasia di agama kami yang orang lain tidak tahu sejak aku mengikuti langkah jejak ayahku.”

 

Amir mencatat pernyataan Hamdi sebelumnya.

 

“Ketika sampai kepada Isa, aku tahu bahwa Yahya mempermandikan DIA dan bahwa itu adalah hari raya/kudus Syiah, demikian juga Paskah, Natal, Pentakosta, dan Minggu Palem. Kami menghormati Isa, tapi kami tidak menyembah DIA.”

 

Amir mengangguk ketika Hamdi ragu-ragu, mempertimbangkan kalimat selanjutnya yang akan dia katakan. Dia menatap atap untuk beberapa saat, dan kembali fokus kepada Amir.

 

“Pertama aku hanya mempunyai beberapa mimpi—mungkin hanya sekali atau dua kali sebulan. Itu terjadi sekitar satu tahun, tapi kemudian kunjungan-kunjungan Isa mulai menjadi rutin.” Hamdi berhenti.

 

“Apakah kamu punya mimpi tentang Isa semalam?” Amir menebak ke mana akhir tujuan pertemuan ini.

 

Hamdi mengusap-usap bibirnya dengan ujung jari kanannya sebelum menjawab. “Ya. Ya, aku bermimpi. Dan aku bermimpi tentang Isa setiap malam selama empat puluh lima malam.”

 

Amir menjelaskan bagaimana menjadi pengikut Isa. Amir berkata, “Sebuah pemerintahan baru tidak akan memperbaiki masalah-masalah di Suriah. Hanya Isa yang dapat melakukannya. DIA-lah pengharapan terbesar kita.”

 

Walaupun Hamdi sengaja untuk membuat pola kehidupan sehari-harinya untuk bervariasi, salah satu bagian dari jadwalnya telah menjadi sangat berbahaya untuk diketahui oleh seseorang yang menginginkan kematiannya. Sekolah usai pada waktu yang sama setiap harinya, Hamdi ke sana untuk menjemput anak-anaknya. Suatu sore yang kritis, Isa berada di sana juga.

 

Hamdi berhenti di lorong; dia tidak yakin mengapa. Sebuah pikiran telah menghampiri dia di beberapa pintu sebelum dia tiba di ruang kelas di mana ketiga anak-anaknya menunggu kehadirannya. Apakah dia sedang mengikuti perintah dalam hatinya?

 

Seorang ibu sedang menggiring keempat anak-anaknya melewatinya menuju pintu yang baru saja dia masuki di gedung tersebut. Pandangannya menyapu ke sebuah barisan karya seni anak-anak sekolah yang tergantung di tembok batako disampingnya. Ketika kedua matanya tertuju pada gambaran di samping pintu kelas terdekat, dia tersentak pada sebuah sinar yang menyorot. Seorang laki-laki yang dia kenal mendatangi mimpi-mimpinya berdiri pada ruang kelas yang terbuka.

 

“Pergi, Hamdi! Para pembunuhmu sedang dalam perjalanan. Ada lima orang, dan mereka hampir sampai sini. Pergi sekarang!”

 

Hanya itu yang Isa katakan sebelum DIA menghilang. Seorang guru melewati masuk pintu yang Hamdi saudah pandangi dan tuju… sebuah pikiran bingung ada padanya sebelum berbelok dan berjalan menjauh di aula itu. Hamdi menggelengkan kepalanya, menjernihkan pikirannya, kemudian melesat melewati guru dan masuk ke dalam ruang di mana anak-anaknya duduk.

 

“Ayo! Lari denganku. Sekarang!” Hamdi menyambar tangan-tangan kedua anaknya yang termuda dan mengarahkan kepalanya menuju ke pintu yang mengarah ke luar yang berseberangan dengan dinding kelas.

 

Hamdi dan ketiga anak-anaknya mengarah ke pinggir jalan di belakang sekolah ketika tembakkan—yang aslinya ditujukan kepadanya tapi tembakkan frustrasi menuju ke udara—menggema dari depan bangunan sekolah itu. Empat buruan berlari 800 meter menuju rumah sesama orang percaya, sadar bahwa akan berjam-jam sebelum istrinya dapat tiba dengan selamat untuk menjemputnya pulang ke rumah.